Mendapati Haid Ketika Thawaf Ifadhah
Apa yang mesti dilakukan oleh jama’ah haji wanita ketika ia mendapati haid saat ingin melakukan thawaf ifadhah? Seandainya ingin menunggu sampai suci, maka ia sudah harus bergegas pulang ke tanah air dan sulit kembali untuk menunaikan thawaf tersebut. Padahal thawaf itu diharuskan suci menurut jumhur ulama. Dan tidak mungkin jama’ah haji wanita ini ditinggalkan di kota Mekkah supaya ia menunaikan thawaf yang merupakan rukun haji tersebut sehingga tertinggal dari jama’ah lainnya.
Wanita Haid Saat Haji
Jika wanita telah berihram untuk haji lalu ia mendapati haid, maka ia tetap berihram sebagaimana yang lainnya. Ia melakukan semua amalan haji, mulai dari tanggal 8 Dzulhijjah dengan melaksanakan sunnah mabit di Mina, tanggal 9 wukuf di Arafah, lalu dilanjutkan dengan mabit di Muzdalifah, dan melempar jumrah pada hari ke-10, 11, 12, atau 13 Dzulhijjah. Yang tidak boleh dilakukan oleh wanita haid hanyalah thawaf keliling Ka’bah, di samping itu wanita haid tidak melakukan ibadah yang umum seperti shalat, puasa, dan menyentuh mushaf.
Ketika ‘Aisyah haid saat haji, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya,
فَافْعَلِى مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ ، غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِى بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِى
“Lakukanlah segala sesuatu yang dilakukan orang yang berhaji selain dari melakukan thawaf di Ka’bah hingga engkau suci.” (HR. Bukhari no. 305 dan Muslim no. 1211)
Sedangkan untuk thawaf wada’, wanita haid mendapatkan keringanan untuk meninggalkannya. Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,
أُمِرَ النَّاسُ أَنْ يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ ، إِلاَّ أَنَّهُ خُفِّفَ عَنِ الْحَائِضِ
“Manusia diperintahkan menjadikan akhir amalan hajinya adalah di Baitullah (dengan thawaf wada’) kecuali hal ini diberi keringanan bagi wanita haidh.” (HR. Bukhari no. 1755 dan Muslim no. 1328).
Mendapati Haid Saat Melakukan Thawaf Ifadhah
Kita sudah mengetahui bahwa thawaf ifadhah termasuk rukun haji. Perintah melakukan thawaf ifadhah disebutkan dalam ayat,
وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ
“Dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” (QS. Al Hajj: 29). Yang dimaksud ayat ini adalah thawaf yang wajib yaitu thawaf ifadhah. Karena perintah dalam ayat ini disebutkan setelah perintah menyembelih. Dan penyembelih baru dilaksanakan pada hari Idul Adha.
Jika termasuk rukun haji, maka bila thawaf yang satu ini tidak dilakukan, maka hajinya tidaklah sah. Nah, masalahnya jika saat melakukan thawaf ifadhah ini datanglah haid atau menstruasi. Apa yang mesti dilakukan? Kalau mesti menunda sampai suci, maka bisa jadi ia terlambat pulang ke tanah air dan tidak mungkin menyuruh ia menunggu di Mekkah sementara rombongannya telah pulang ke tanah air. Dan tidak mungkin lagi kembali untuk menunaikan thawaf tersebut. Beda halnya jika seorang wanita bermukim di jazirah Arab, ia bisa dengan mudah kembali ke tanah suci untuk menyempurnakan thawaf ifadhah.
Perlu dipahami terlebih dahulu:
1- Para ulama sepakat bahwa thawaf asalnya adalah dengan berthoharoh (bersuci). Tidak boleh wanita haidh berthawaf padahal ia mampu nantinya berthawaf setelah ia suci.
2- Para ulama sepakat bahwa thawaf qudum (thawaf yang disyari’atkan bagi orang yang datang dari luar Makkah sebagai penghormatan kepada Baitullah Ka’bah) dan thawaf wada’ (thawaf ketika meninggalkan Makkah) tidak wajib bagi wanita haidh.
3- Para ulama sepakat bahwa wanita haidh dianjurkan untuk menunggu hingga suci ketika ia mendapati haidh sebelum melakukan thawaf ifadhah. Ketika ia suci barulah ia melakukan thawaf dan boleh meninggalkan Makkah (Lihat An Nawazil fil Hajj, 310-311).
Para ulama berselisih pendapat dalam hal jika wanita haidh harus meninggalkan Makkah dan belum melaksanakan thawaf ifadhah (yang merupakan rukun haji) dan tidak bisa lagi kembali ke Makkah, apakah ia boleh thawaf dalam keadaan haidh? Apakah sah?
Yang tepat dalam kondisi wanita haidh seperti ini, bolehnya thawaf dalam keadaan haidh meskipun kita mensyaratkan mesti harus berthoharoh ketika thawaf. Di antara alasannya, jika thoharoh adalah syarat thawaf, maka kita analogikan (qiyaskan) seperti keadaan shalat. Syarat shalat jadi gugur jika dalam keadaan tidak mampu (‘ajez). Seperti kita dalam keadaan sakit dan tidak mampu berwudhu dan tayamum, maka tetap harus shalat meskipun dalam keadaan hadats. Hal ini sama pula dengan thawaf. Lihat An Nawazil fil Hajj, hal. 311-321. Mengenai syarat bersuci ketika thawaf telah dibahas di Rumaysho.Com: Wudhu Batal di Pertengahan Thawaf.
Ibnul Qayyim mengatakan dalam I’lamul Muwaqi’in, “Sesungguhnya perkataan dan fatwa para ulama yang menyaratkan dan membuat ketetapan wajib itu diterapkan jika keadaan mampu dan punya kelapangan, bukan ketika keadaan darurat dan tidak mampu. Fatwa dan perkataan para ulama tidaklah bertentangan dengan dalil syar’i. Seorang mufti biasa mengaitkan antara syari’at dengan kaedah dan ushul syari’at, begitu pula kalam ulama dikaitkan dengan kaedah dan ushul mereka. Jadi mufti ketika mengeluarkan fatwa sesuai dengan pokok dan kaedah syari’at, juga kaedah para ulama. Wa billahit taufiq.”
Demikian bahasan singkat di malam ini, moga bermanfaat.
Hanya Allah yang memberi taufik.