Kisah Djaelani, Kuli Bangunan Kini Bisa Berangkat Haji

Kategori : Cerita Seputar Umroh & Haji, Ditulis pada : 21 Oktober 2022, 09:44:11

Surabaya (PHU)—Pria berperawakan kecil di koridor Asrama Haji Embarkasi Surabaya siang itu, Rabu (8/6) terlihat begitu gesit dan bersemangat bersama jemaah haji lainnya. Aura bahagia terpancar jelas dari wajah keriputnya.

Dialah Mohammad Djaelani, jemaah haji yang tergabung dalam kelompok terbang (Kloter) 7 Embarkasi Surabaya. Bapak dari tiga orang putra asal Saradan Madiun ini tak menyangka doa yang selalu ia langitkan selama ini akhirnya berwujud nyata.

Djaelani bukanlah pekerja kantoran yang mendapatkan penghasilan tetap setiap bulan. Ia harus mengumpulkan rupiah demi rupiah melalui tetesan keringatnya sebagai seorang kuli bangunan demi mewujudkan harapannya menunaikan rukun Islam kelima.

"Saya ini orang miskin, tidak ada bayangan saat itu untuk bisa naik haji. Wong buat makan aja saya mesti susah payah jadi kuli bangunan," tutur Djaelani mengawali kisahnya.

Tahun 1980, Djaelani mulai mengais rejeki di perantauan sebagai kuli bangunan. Meski tak tentu penghasilan yang bisa ia dapatkan, Djaelani tak lupa menyisihkan sebagian dari penghasilannya untuk ditabung.

"Tahun 2007, uang tabungannya saya terkumpul 5 juta rupiah. Uang itu saya gunakan beli sapi," kenang pria yang kini berusia 62 tahun ini.

Dua tahun berlalu, Djaelani menjual sapinya seharga 8 juta rupiah. Uang tersebut lantas ia belikan tanah seharga 10 juta rupiah, dengan mencari pinjaman bank untuk menutupi kekurangannya.

Di saat itu, keinginannya pergi haji pun makin membuncah. Ia bernadzar dalam hati, bila ada yang mau membeli tanahnya, maka uangnya akan ia gunakan untuk daftar haji.

Ternyata keinginan kuat Djaelani untuk berhaji didengar dan dikabulkan oleh Sang Maha Pengasih. Ketika Allah sudah berkehendak, maka jadilah.. Seorang dermawan mau membeli tanah Djaelani seharga 25 juta rupiah.

"Tanah saya, yang harganya 10 juta, tidak pake ditawar langsung dibeli seharga 25 juta. Alhamdulillah, uangnya pas buat daftar haji," ungkap Djaelani terharu.

Setelah itu, keberuntungan pun berpihak padanya. Seorang nadzir desa menawarinya untuk membantu tugas modin desa dalam mengurus jenazah. Ia lakoni tugas tersebut dengan tetap menjalani pekerjaannya sebagai kuli bangunan.

"Jadi modin ngurus jenazah, ya kerja seikhlasnya, bayaran seikhlasnya dari Gusti Allah. Saya juga masih tetap kerja bangunan," tuturnya.

Djaelani pun tak menutup mata untuk biaya pelunasan hajinya. Ia pun kembali menabung untuk membeli sapi lagi.

"Alhamdulillah, saya bisa melunasi biaya haji saya dari jualan sapi lagi. Sekarang sapi saya sudah habis," ujar Djaelani sumringah.

Di akhir perbincangan, lelaki beruban penuh ini menuturkan hal yang paling utama dalam mendaftar ibadah haji adalah memiliki keinginan yang sangat kuat. "Insya Allah kalau niat kita sudah bulat, Allah akan bukakan jalan dari pintu mana saja, bahkan yang tidak terduga sekalipun," pungkasnya.

QS al-Baqarah/02:197,

ٱلۡحَجُّ أَشۡهُرٞ مَّعۡلُومَٰتٞۚ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ ٱلۡحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي ٱلۡحَجِّۗ وَمَا تَفۡعَلُواْ مِنۡ خَيۡرٖ يَعۡلَمۡهُ ٱللَّهُۗ وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيۡرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقۡوَىٰۖ وَٱتَّقُونِ يَٰٓأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ .

Haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, maka barangsiapa yang mewajibkan (atas dirinya) untuk berhaji di dalamnya (bulan-bulan itu), maka tidak ada rafats (bercampur dengan isteri, cumbu-rayu, dan berkata cabul), tidak ada kefasikan (berucap atau berbuat sesuatu yang melanggar norma-norma susila dan agama) dan tidak ada bantah-bantahan di dalam haji. Dan apa pun yang kamu kerjakan berupa kebaikan, (pasti) Allah mengetahuinya. Berbekallah kamu! Maka, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa, dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal bersih, murni, dan cerah!

QS Ali ’Imran/3:96-97,

إِنَّ أَوَّلَ بَيۡتٖ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكٗا وَهُدٗى لِّلۡعَٰلَمِينَ فِيهِ ءَايَٰتُۢ بَيِّنَٰتٞ مَّقَامُ إِبۡرَٰهِيمَۖ وَمَن دَخَلَهُۥ كَانَ ءَامِنٗاۗ وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَيۡتِ مَنِ ٱسۡتَطَاعَ إِلَيۡهِ سَبِيلٗاۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ ٱلۡعَٰلَمِينَ .

Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah bagi) manusia, ialah yang di Bakkah (Mekkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) Maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah), menjadi amanlah dia; mengerjakan haji menuju Baitullah adalah kewajiban manusia terhadap Allah, (yaitu bagi) yang sanggup mengadakan perjalanan ke sana, barangsiapa kafir, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (dan tidak butu) pada seluruh alam.

HR. al-Imam Ahmad dari Jabir bin ‘Abdullah, bahwa sanya Nabi saw. bersabda;

اَلْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ له جَزَاءٌ الا الْجَنَّـةَ.

Haji Mabrur tidak ada imbalan lain baginya kecuali surga.

Musim atau waktu haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, yaitu bulan Syawwal, Dzulqa’idah, dan 9 Dzulhijjah, ditambah malam ke-10, yakni malam lebaran Ied al-Adha. Ayat pertama di atas tidak menyebut kata musim atau waktu dalam redaksi ayat. Hal itu, untuk memberi kesan bahwa bulan-bulan itu sendiri memiliki kesucian pada dirinya dan akibat terlaksananya ibadah haji ketika itu. Kesan ini, pada gilirannya, mengharuskan setiap orang, baik yang melaksanakan haji maupun yang tidak, untuk menghormatinya dan tetap memelihara kesuciannya dengan menghindari bukan hanya peperangan, akan tetapi juga segala macam dosa.

Bulan-bulan yang dimaklumi, yakni bulan yang sudah diketahui oleh masyarakat Arab sejak sebelum diutusnya Nabi Muhammad saw. Maka barangsiapa yang mewajibkan atas dirinya dengan menetapkan niat untuk melaksanakan haji dalam bulan-bulan itu, maka hendaklah ia mengetahui bahwa tidak ada rafats, tidak ada kefasikan, dan tidak ada juga jidal, yakni pertengkaran di dalam masa mengerjakan haji. Anak kalimat “dalam bulan-bulan itu” mengisyaratkan bahwa ibadah haji dapat terlaksana walaupun tidak dilaksanakan sepanjang bulan-bulan tersebut. Dengan demikian, waktu haji bukan seperti waktu puasa Ramadhan, yang harus dilaksanakan sejak awal Ramadhan hingga akhirnya, kecuali yang memiliki uzur (halangan) yang dapat dibenarkan mengganti puasanya pada hari-hari yang lain.

Bulan-bulan tertentu yang telah dimaklumi atau diketahui itu, antara lain merupakan waktu permulaan berniat untuk melaksanakan haji. Niat berhaji sebelum bulan-bulan tersebut di atas tidak sah menurut banyak ulama. Pada sisi lain, walau waktunya demikian panjang, yakni 2 bulan 10 hari, namun ada malam-malam haji yang tidak sah dilaksanakan kecuali pada hari-hari tertentu, seperti wukuf di ‘Arafah yang tidak boleh sebelum tanggal 9 Dzulhijjah, tidak juga setelah terbitnya fajar 10 Dzulhijjah. Waktu yang berkepanjangan itu, antara lain, dimaksudkan untuk memantapkan niat, melakukan persiapan bekal jasmani dan rohani, serta melakukan perjalanan yang hingga kini—lebih-lebih di masa lalu—membutuhkan waktu yang cukup lama.

Ibadah haji merupakan salah satu sarana melakukan komunikasi antara seorang hamba dengan Khalik-nya. Ibadah ini pertama kali disyari’atkan pada tahun keenam Hijrah, sebagaimana Firman Allah swt. dalam QS Ali ’Imran/3:96-97. Kata al-Hajj menurut bahasa berarti menyengaja. Karena itu menurut istilah syari’at Islam, ia berarti menyengaja mengunjungi Ka’bah di Mekah untuk melakukan beberapa rangkaian amal ibadah menurut rukun dan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh syara’. Haji merupakan rukun Islam yang kelima dan pokok ibadah yang keempat, yang diperintahkan setelah disyari’atkan ketiga pokok ibadah sebelumnya, yakni: ibadah salat, ibadah puasa Ramadhan, dan ibadah zakat.

Ibadah haji mengandung nilai-nilai historis. Dari sejak mengenakan pakaian ihram yang melambangkan kezuhudan manusia sebagai latihan untuk kembali kepada fitrahnya yang asli, yaitu sehat dan suci-bersih. Dengan pakaian seragam putih, mereka berkumpul melakukan Ukuf di ‘Arafah. Kata ukuf berarti berhenti, sedang kata ‘arafah berarti naik-mengenali. Dari makna bahasa ini dapat diperoleh suatu hikmah, bahwa Ukuf di ‘Arafah, pada hakekatnya, adalah suatu usaha di mana secara fisik, tubuh kita berhenti di Padan ‘Arafah, lalu jiwa-spiritual kita naik menemui Allah swt. Ukuf di ‘Arafah ini memberikan rasa keharuan dan menyadarkan mereka akan yaumul mahsyar, yang ketika itu, manusia diminta untuk mempertanggung jawabkan atas segala yang telah dikerjakannya selama di dunia. Di Padan ‘Arafah itu, manusia insaf dengan sesungguhnya akan betapa kecilnya dia dan betapa agungnya Allah, serta dirasakannya bahwa semua manusia sama dan sederajat di sisi Allah, sama-sama berpakaian putih-putih, memuji, berdoa, sambil mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan semesta alam.

Ibadah thawwaf dan sa’i yang dilakukan secara serempak dalam suasana khusyu’ mengesankan keagungan Allah. Bacaan-bacaan yang dikumandangkan mensucikan dan mentauhidkan Allah memberi makna bahwa kaum muslim harus hidup dinamis, senantiasa penuh gerak dan perjuangan, bahkan pengorbanan demi untuk menggapai keridhaan Allah swt. Peristiwa sa’i mengingatkan manusia akan perlunya hidup sehat disertai usaha sungguh-sungguh dan perjuangan habis-habisan dalam meraih kesehatan, kesejahteraan, dan kebahagiaan paripurna.

Pada bulan haji, umat Islam se dunia mengadakan pertemuan tahunan secara besar-besaran, yang pesertanya berdatangan dari seluruh penjuru dunia, yang terdiri atas berbagai bangsa. Mereka semua dipersatukan di bawa lindungan Ka’bah. Ka’bah-lah yang menjadi lambang persatuan dan kesatuan umat. Pertemuan seperti inilah yang perlu dimanfaatkan oleh umat Islam dalam rangka pembinaan dan pembangunan masyarakat Islam baik nasional maupun internasional.

Dengan menunaikan ibadah haji, umat Islam didorong untuk menjadi manusia yang luas gerak dan pandangan hidupnya, yang dapat menambah ilmu dan pengalaman dengan berbagai bahasa. Melalui perkenalan itu lahir saling pengertian yang lebih baik, rasa hormat, dan saling harga-menghargai di antara sesama umat Islam dari berbagai penjuru dunia. Syarat ”mampu dan kuasa”, sebagaimana firman Allah swt. dalam QS Ali ’Imran/3:97, telah ditetapkan oleh Allah untuk menunaikan ibadah haji, mendidik setiap umat Islam agar mereka menjadi kuat dan sehat dalam bidang harta benda, fisik, dan rohani untuk dapat melakukan ibadah haji, yang sifatnya wajib hanya sekali seumur hidup. Karena itu, syarat ini pula mengisyaratkan bahwa haji merupakan ibadah fisik, ibadah rohani, dan ibadah dana.

Jemaah Haji adalah tamu-tamu Allah swt. Dia yang mengundang mereka melalui Pesuruh-Nya Nabi Ibrahim, as. Di balik undangan itu, ada pesannya kepada para undangan, sebagaimana firman-Nya dalam QS al-Baqarah/2:197, seperti tersebut di atas, “Datanglah dengan membawa bekal”. Bekal inilah yang akan menentukan “Layanan Tuan Rumah” kepada para tamu. Rumahnya tanpa warna-warni, mengesankan kesederhaan, namun bangunan itu dapat mengarah kemampuan jua, dari mana pun Anda masuk selama membawa bekal, Anda akan diterimanya.

Ada “Tata cara protokoler” yang ditetapkannya, akan tetapi pasti menimbulkan tanya atau bahkan tawa, jika bekal yang di bawa tidak cukup, betapa tidak, para tamu diminta mengelilingi rumah, mondar-mandir antara dua bukit, melontar dengan batu-batu kecil, mencium batu hitam, pakaian yang dikenakan pria tidak boleh berjahit, alas kaki jangan menutup mata kaki, dan bila pakaian telah dikenakan, jangan lagi berhias, bersisir, atau menggunting kuku, mencabut bulu pun bila dilakukan terkena denda, apalagi bercumbu, membunuh binatang, atau mencabut tumbuhan. Di sekeliling rumah-Nya banyak sekali pengunjung, sehingga banyak kepentingan yang dapat berbenturan dan ada juga penggoda, bahkan Iblis dan setan cukup banyak berkeliaran menanti mangsa atau mencari pengikut. Di sini kalau bekal tidak cukup, bukan rumah Tuhan yang dijumpai, akan tetapi sarang Iblis yang dihuni.
"Bekal yang terbaik adalah takwa” sebagaimana tersebut pada ayat pertama di atas (QS al-Baqarah/2:79). Itu pesan Allah swt., yang menjelaskan jenis bekal. Takwa adalah nama bagi kumpulan simpul-simpul keagamaan, mencakup, antara lain: pengetahuan, ketabahan, keikhlasan, kesadaran akan jatidiri, serta persamaan manusia dan kelemahannya di hadapan Allah swt. Dengan bekal pengetahuan, sang tamu akan sadar bahwa apa yang dilihat dan dilakukannya merupakan simbol-simbol yang sarat makna dan apabila dihayati akan mengantarnya masuk dalam lingkungan Ilahi, ia akan menyadari, misalnya: rumah-Nya yang mengarah ke seluruh arah itu, melambangkan Allah yang berada di seluruh arah, dan ketika kesadaran ini muncul, tanpa segan para tamu akan mencium, atau paling tidak melambai ke batu hitam itu karena itulah lambang “Tangan Tuhan” yang diulurkan untuk menerima para tamu yang telah mengikat janji setia.

Dengan bekal kesadaran akan persamaan manusia dan kelemahannya di hadapan Allah, para tamu akan menanggalkan atribut-atribut “kebesaran” pada saat ia menanggalkan pakaian sehari-harinya dan mengenakan pakaian ihram (pakaian khusus para tamu itu) dan sejak itu, ia tidak akan cepat tersinggung apalagi marah, karena rasa kebesarannya telah pupus sejak ia memiliki bekal itu. Langkah pertama untuk memperoleh dan memelihara bekal itu, adalah meluruskan niat, karenanya singkirkan segala rayuan, hapus semua iming-iming duniawi, dan hadapkan wajah kepada-Nya semata. Nilai setiap perbuatan ditentukan oleh niat pelakunya, itu keterangan pesuruh-Nya “Nabi Muhammad saw.”, dan karena itu pula, sejak dini dipesankan: “Sempurnakanlah haji dan umrah demi karena Allah swt. semata” (QS al-Baqarah/2:196).

Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. mengishahkan bahwa seorang Yahudi mengucapkan di hadapan khalifah ‘Umar Ibnu al-Khattab bahwa ada ayat dalam kitab suci tuan, seandainya kepada kami ditujukan, maka hari turunnya kami jadikan sebagai hari lebaran. Ayat apa yang Anda maksud, tanya ‘Umar. Orang Yahudi menjawab, “Hari ini orang-orang kafir telah berputusasa untuk (mengalahkan) agamamu, karena itu jangan takut kepada mereka, takutlah kepada-Ku, hari ini telah Ku-sempurnakan untukmu agamamu, telah Ku-cukupkan untukmu nikmat-Ku dan telah Ku-ridhai Islam menjadi agama bagimu” (QS al-Maa’idah/05:03). Orang Yahudi tadi mengatakan, “Aku tahu hari dan tempat turunnya, hari Jum’at, sore, Tahun ke-10 Hijrah, saat Nabi Muhammad saw. sedang Wukuf di ‘Arafah, dengan mengendarai untanya “Al-Ghadbaa’ ”.
Tidak keliru orang Yahudi itu, dalam Islam hanya ada dua hari raya. Ied al-Fithr sebagai hari peletakan batu pertama ajaran Islam, karena pada bulan Ramadhan pertama kali al-Qur’an turun, dan hari raya Ied al-Adha’, di mana kita rayakan peletakan bata terakhir ajaran Islam, karena ketika itu diproklamirkan sempurnanya bangunan agama Islam, bahkan ketika itu—menurut sementara ulama—putus sudah hubungan langit dan bumi, di mana berakhir sudah wahyu-wahyu Ilahi.

Menarik untuk dihayati bahwa QS al-Ma’idah/05:03 di atas mengaitkan antara keputusasaan orang kafir, dan larangan takut kepada mereka dengan kesempurnaan agama Islam. Keterkaitan itu, menurut pakar al-Qur’an, mengandung ancaman tersirat, keterkaitan itu berarti, bahwa ketidaksempurnaan pelaksanaan agama, mengundang optimisme musuh, bahkan melahirkan keberanian mereka untuk menindas kaum muslimin. Bila Anda ingin bukti, pelajari saja sejarah umat ini sepeninggal Nabi Muhammad saw.

Hari raya peletakan bata terakhir dari ajaran Islam (Hari Raya Ied al-Adha’) hendaknya dapat menjadikan umat Islam, lebih menghayati lagi ajaran agamanya, dan lebih mengenal betapa berbeda beragama secara hakiki dan beragama secara imitasi. Tahukah Anda bedanya? Saya sadurkan tulisan DR. Ahmad Amin, seorang pujangga Mesir kenamaan, agar semakin jelas bedanya, dengan ungkapannya, “Tahukah tuan perbedaan antara sutera asli dan sutera tiruan, antara harimau dengan gambarnya, antara api yang sedang menyala dengan kata “api” yang keluar dari mulut yang hampa? Tahukah tua beda antara manusia yang hilir mudik bekerja dengan patung yang dipajang dietalase, diberi baju layaknya manusia? Tahukah tuan beda antara sang Ibu yang menangisi putrinya yang wafat dan wanita yang dibayar untuk menangis? Kalau tuan tahu membedakannya, maka begitu pulalah kiranya perbedaan antara beragama dengan benar dan beragama secara tiruan. Dalam agama tiruan, shalat hanya gerak tubuh belaka, haji hanya perjalanan tamasya, tiada lain, upacara ritual hanya bak adegan sandiwara. Demikian seterusnya”.

Sungguh wajar bagi setiap muslim untuk bercermin, menatap diri pada hari raya kesempurnaan agama itu, dan bertanya: “Telah sesuaikah sikapnya dengan ajaran Islam? Brenar, sudahkah cara ia beragama? Sudahkah diperkenankannya firman Allah: “Masuklah kalian seluruhnya di dalam agama Islam”.

Chat Dengan Kami
built with : https://erahajj.co.id