10 Ketentuan Badal Haji
Kita lihat sebagian orang terlalu bermudah-mudahan menghajikan orang lain, alias membadalkan haji. Padahal tidak mudah begitu saja membadalkan haji, ada ketentuan, syarat dan hukum yang mesti diperhatikan. Di antara ketentuan yang ada, haji sudah kita ketahui bersama diperintahkan bagi yang mampu saja. Sedangkan jika miskin, maka tidak diwajibkan untuk berhaji. Jika tidak diwajibkan maka tentu tidak wajib dibadalkan.
Sebenarnya pembahasan ini sudah dibahas sebelumnya di sini. Namun pada bahasan kali ini kami lebih konsentrasi membahas syarat dan ketentuan badal haji tersebut. Di antara ketentuan yang perlu diperhatikan dalam badal haji adalah sebagai berikut:
1- Tidak sah badal haji dari orang yang mampu melakukan haji Islam dengan badannya.
Ibnu Qudamah mengatakan, “Tidak boleh menggantikan haji wajib dari seseorang yang mampu melaksanakan haji dengan dirinya sendiri. Ini disepakati (ijma’) oleh para ulama. Ibnul Mundzir berkata, “Para ulama sepakat bahwa siapa yang punya kewajiban menunaikan haji Islam dan ia mampu untuk berangkat haji, maka tidak sah jika yang lain menghajikan dirinya.” (Al Mughni, 3: 185)
2- Badal haji hanya untuk orang sakit yang tidak bisa diharapkan sembuhnya, atau untuk orang yang tidak mampu secara fisik, atau untuk orang yang telah meninggal dunia.
Komisi Fatwa di Saudi Arabia (Al Lajnah Ad Daimah) ditanya, “Bolehkah seorang muslim menghajikan salah seorang kerabatnya di negeri Cina yang tidak mampu pergi menunaikan haji yang wajib?”
Para ulama yang duduk di Lajnah Daimah menjawab, “Boleh bagi seorang muslim menunaikan haji wajib untuk orang lain (badal haji) jika orang lain tersebut tidak mampu menunaikan haji dengan dirinya sendiri dilihat dari umurnya yang sudah tua, atau karena sakit yang tidak bisa diharapkan sembuhnya, atau karena telah meninggal dunia. Bolehnya hal ini karena ada hadits shahih yang menerangkannya. Namun jika orang yang dihajikan tidak mampu berhaji saat itu saja semisal tertimpa penyakit yang bisa diharapkan sembuhnya, atau karena keadaan politik dalam negeri, atau perjalanan yang tidak aman, maka tidak sah membadalkan haji untuknya.” [Yang menandatangani fatwa ini adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Syaikh ‘Abdur Rozaq, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud. Fatawa Al Lajnah 11: 51]
3- Membadalkan haji bukan untuk orang yang tidak mampu secara harta. Karena jika yang dibadalkan hajinya itu miskin (tidak mampu berhaji dilihat dari hartanya), maka gugur kewajiban haji untuknya. Membadalkan haji cuma untuk orang yang tidak mampu secara fisik saja.
Al Lajnah Ad Daimah ditanya, “Bolehkah seseorang mengumrohkan atau menghajikan kerabatnya yang jauh dari Mekkah dan memang ia tidak punya apa-apa untuk ke Mekkah, namun ia mampu untuk melakukan thowaf?”
Jawab para ulama di Lajnah, “Kerabat yang engkau sebut tidak wajib untuk berhaji karena ia tidak mampu berhaji secara finansial (tidak punya kecukupan harta). Sehingga tidak sah membadalkan haji atau umroh untuknya. Yang dianggap sah adalah jika ia sebenarnya mampu untuk menunaikan haji atau umroh dengan badannya, yaitu ia bisa hadir di tempat-tempat haji. Sehingga boleh menghajikan mayit dan orang yang tidak mampu untuk berhaji secara fisik (tapi punya kemampuan finansial, pen).” [Yang menandatangani fatwa ini adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Syaikh ‘Abdur Rozaq, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud. Fatawa Al Lajnah 11: 52]
4- Tidak boleh seseorang membadalkan haji orang lain kecuali ia telah menunaikan haji yang wajib untuk dirinya. Jika ia belum berhaji untuk diri sendiri lantas ia menghajikan orang lain, maka hajinya akan jatuh pada dirinya sendiri.
Para ulama di Al Lajnah Ad Daimah berkata, “Tidak boleh seseorang menghajikan orang lain sebelum ia berhaji untuk dirinya sendiri. Dalil dari hal ini adalah riwayat dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar seseorang berkata, “Labbaik ‘an Syabromah [Aku memenuhi panggilan-Mu, dan ini haji dari Syabromah]”. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah engkau sudah berhaji untuk dirimu sendiri?” “Tidak”, jawabnya. Lantas beliau bersabda, “Berhajilah untuk dirimu terlebih dahulu, baru engkau menghajikan Syabromah.” [Yang menandatangani fatwa ini adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan. Fatawa Al Lajnah 11: 50]
5- Wanita boleh membadalkan haji laki-laki, begitu pula sebaliknya.
Para ulama Lajnah berkata, “Membadalkan haji itu dibolehkan jika orang yang membadalkan telah berhaji untuk dirinya sendiri. Begitu pula jika seseorang menyuruh wanita untuk membadalkan haji ibunya, itu boleh. Sama halnya pula jika seorang wanita membadalkan haji untuk wanita atau pria, itu pun boleh. Sebagaimana adanya dalil shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan hal ini.” [Fatwa Al Lajnah 11: 52]
6- Tidak boleh seseorang membadalkan haji dua orang atau lebih dalam sekali haji.
Para ulama yang duduk di Lajnah berkata, “Tidak boleh seseorang dalam sekali haji membadalkan haji untuk dua orang sekaligus, badal haji hanya boleh untuk satu orang, begitu pula umrah. Akan tetapi seandainya seseorang berhaji untuk orang dan berumrah untuk yang lainnya lagi dalam satu tahun, maka itu sah asalkan ia sudah pernah berhaji atau berumrah untuk dirinya sendiri.” [Yang menandatangani fatwa ini adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud. Fatawa Al Lajnah 11: 58]
Catatan: Demikianlah banyak di antara warga kita yang tertipu di Mekkah. Perlu diketahui bahwa badal haji yang saat ini dilakukan sebagian warga kita di Mekkah kadang cuma dijadikan bisnis. Buktinya (dan banyak yang menceritakan hal ini), ada yang membadalkan haji untuk 10 orang sekaligus dalam sekali haji. Bagaimana mungkin hal ini dibenarkan?! Jadi jangan sampai tertipu dengan sindikat para penipu dalam ibadah badal haji.
7- Tidak boleh bagi seorang pun membadalkan haji dengan maksud untuk cari harta. Seharusnya tujuannya membadalkan haji adalah untuk melakukan ibadah haji dan sampai ke tempat-tempat suci serta berbuat baik kepada saudaranya dengan melakukan badal haji untuknya.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin berkata, ”Badal haji dengan tujuan hanya ingin cari harta, maka Syaikhul Islam rahimahullah menyatakan bahwa barang siapa berhaji dan cuma ingin cari makan, maka di akhirat ia tidak akan mendapat bagian sedikit pun. Namun barangsiapa yang niatannya memang ingin berhaji, maka tidaklah mengapa. Jadi barangsiapa melakukan badal haji untuk orang lain, maka niatan ia seharusnya adalah untuk menolong dan untuk memenuhi hajat saudaranya. Karena yang dibadalkan adalah orang yang butuh. Tentu ia senang jika ada orang lain menggantikan dirinya. Maka niatannya adalah berbuat baik untuk menunaikan hajat saudaranya dan dengan niatan yang baik pula.” [Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 89, pertanyaan 6]
8- Pahala amalan haji apakah untuk yang membadalkan ataukah yang dibadalkan?
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin berkata, “Pahala badal haji jika berkaitan dengan kegiatan manasik, maka semuanya akan kembali pada orang yang diwakilkan (orang yang dibadalkan). Adapun untuk berlipatnya pahala dari sisi shalat, thowaf yang sunnah yang tidak berkaitan dengan amalan manasik haji, begitu pula dengan bacaan Al Qur’an akan kembali pada yang menghajikan (orang yang membadalkan).” [Adh Dhiyaa’ Al Laami’ min Khitob Al Jawaami’, 2: 478]
Namun Ibnu Hazm rahimahullah berkata dari Daud, ia berkata, “Aku berkata pada Sa’id bin Al Musayyib: Wahai Abu Muhammad, pahala badal haji untuk orang yang menghajikan ataukah yang dibadalkan? Jawab beliau, Allah Ta’ala bisa memberikan kepada mereka berdua sekaligus.”
9- Lebih afdhol, anak membadalkan haji kedua orang tuanya atau kerabat membadalkan haji kerabatnya. Namun jika orang lain selain kerabat yang membadalkan, juga boleh.
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah ditanya mengenai apakah si anak membadalkan haji ortunya sendiri ataukah menyewa orang lain untuk menghajikannya. Beliau menjawab, “Jika engkau menghajikan orang tuamu dengan dirimu sendiri, lalu engkau bersungguh-sungguh menyempurnakan hajimu tersebut, maka itu lebih baik. Namun jika engkau mempekerjakan orang lain untuk menghajikan orang tuamu di mana orang yang menghajikan punya agama yang bagus dan amanah, maka tidak mengapa.” [Fatwa Syaikh Ibnu Baz, 16: 408]
10- Seharusnya betul-betul perhatian untuk memilih orang yang membadalkan haji yaitu carilah orang yang amanat dan memahami benar ibadah haji.
Para ulama Al Lajnah Ad Daimah berkata, “Seharusnya bagi orang yang ingin mencari siapa yang ingin membadalkan haji, hendaklah ia memilih yang bagus agamanya dan amanah sehingga ia merasa tenang ketika ibadah wajib tersebut ditunaikan oleh orang lain.” [Fatawa Al Lajnah Ad Daimah, 11: 53][1]
Semoga mendapat ilmu yang bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq.