Hukum Safar Bagi Wanita Tanpa Mahram
Sesungguhnya pembicaraan mengenai wanita dan hal-hal yang berkaitan dengannya sangatlah penting, khususnya pada zaman sekarang ini, dimana wanita muslimah menghadapi fitnah (ujian) yang dapat menyebabkan hilangnya kemuliaan dan kedudukannya yang terhormat dalam dienul Islam.
Agama Islam menjaga kehormatan dan akhlaq kaum muslimin serta menjaga masyarakat agat tidak jatuh kedalam kehinaan. Di antara cara mewujudkan hal tersebut adalah larangan bagi wanita untuk bersafar tanpa mahrom yang menyertainya.
Sebagian ulama’ menukil kesepakatan tentang terlarangnya wanita safar tanpa suami atau mahram yang menyertainya. Berikut pembahasan tentang masalah ini. Wabillah taufiq.
HADITS-HADITS TENTANG LARANGAN WANITA SAFAR TANPA MAHROM
1. Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ وَلاَ يَدْخُلُ عَلَيْهَا رَجُلٌ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أَخْرُجَ فِي جَيْشِ كَذَا وَكَذَا وَامْرَأَتِي تُرِيدُ الْحَجَّ فَقَالَ اخْرُجْ مَعَهَا
“Janganlah wanita safar (bepergian jauh) kecuali bersama dengan mahromnya, dan janganlah seorang (laki-laki) menemuinya melainkan wanita itu disertai mahromnya. Maka seseorang berkata: “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesungguhnya aku ingin pergi mengikuti perang anu dan anu, sedangkan istriku ingin menunaikan ibadah haji.” Beliau bersabda: “Keluarlah (pergilah berhaji) bersamanya (istrimu)”. [HSR. Imam Bukhari (Fathul Baari IV/172), Muslim (hal. 978) dan Ahmad I/222 dan 246]
2. Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ ثَلاَثًا إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Janganlah seorang wanita safar sejauh tiga hari (perjalanan) melainkan bersama dengan mahramnya”. [HSR. Imam Bukhari (1087), Muslim (hal. 970) dan Ahmad II/13; 19; 142-143; 182 dan Abu Daud]
3. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَحِلُّ لامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لَيْسَ مَعَهَا حُرْمَةٌ
“Tidak halal (boleh) bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir safar sejauh sehari semalam (perjalanan) dengan tanpa mahram (yang menyertainya)”. [HSR. Imam Bukhari (Fathul Baari II/566), Muslim (hal. 487) dan Ahmad II/437; 445; 493; dan 506]
4. Dari Qaz’ah maula Ziyaad berkata: “Aku mendengar Abu Sa’id (Al-Khudry Radhiyallahu ‘anhu), yang telah mengikuti dua belas peperangan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berkata: “Empat perkara yang aku dengar dari rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membuat aku takjub dan kagum, yaitu: “Janganlah seorang wanita safar sejauh dua hari (perjalanan) tanpa disertai suami atau mahramnya, janganlah berpuasa pada dua hari Idul Fitri dan Idul Adlha, janganlah sholat setelah mengerjakan dua sholat yaitu setelah sholat Ashar sampai tenggelam matahari dan setelah sholat Subuh sampai terbit matahari, dan janganlah bepergian jauh kecuali menuju tiga masjid: masjidil Haram, masjidku (masjid nabawi) dan masjidil Aqsho.” [HSR. Imam Bukhari (Fathul Baari IV/73), Muslim (hal. 976) dan Ahmad III/34 dan 45]
DIFINISI MAHROM
Definisi mahram bagi wanita adalah orang yang haram (selamanya-Red) menikah dengannya, karena nasab, pernikahan atau susuan.
a. Mahram karena nasab seperti: anak laki-lakinya, saudara laki-lakinya, bapaknya, paman dari bapaknya, paman dari ibunya, kakeknya, anak saudara laki-lakinya (keponakannya), anak saudara perempuannya (keponakannya), sama saja baik saudara seayah seibu, saudara seayah, atau seibu.
b. Mahram karena pernikahan seperti: suami putrinya (menantu), suami cucu dari putrinya (terus keturunannya kebawah), putra suaminya (anak tiri), anak-anak dari putra suaminya, anak-anak dari putri suaminya (terus kebawah), baik dari istri sebelum dia, sesudah dia atau bersamanya, ayah atau kakek suami (terus ke atas), baik dari pihak ayah suami atau ibu suami.
c. Mahram karena susuan sama seperti mahram karena nasab berdasarkan sabda rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ
“Penyusuan itu mengharamkan sebagaimana yang diharamkan karena nasab”. [HSR Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasa’I Ibnu Maajad dan Ahmad]
BOLEHKAH WANITA SAFAR UNTUK MENGERJAKAN HAJI TANPA DISERTAI MAHRAM ?
Ahlul ilmi berbeda pendapat tentang safarnya seorang wanita tanpa disertai mahram untuk melaksanakan ibadah haji. Sebagian Ahlul ilmi berkata: “Tidak wajib bagi wanita tersebut, karena mahram termasuk As-sabiil (perjalanan ke baitullah) berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً
“(Bagi) Orang yang sanggup mengadakan perjalan ke baitullah”. [Ali Imaran 97]
Mereka (ahlul ilmi) berkata: “Apabila tidak ada mahram yang menyertainya berarti wanita tersebut tidak sanggup mengadakan perjalan ke Baitullah”. Itu adalah pendapat Sufyan Ats-Tsauri dan penduduk Kufah.
Sebagian ahlul ilmi berkata: “Apabila jalan menuju ke Baitullah itu aman, maka wanita-wanita tersebut dapat keluar bersama orang banyak untuk berhaji”. Ini adalah pendapat Malik bin Anas dan Syafi’i. [Lihat Tuhfatul Ahwadzi IV/332]
Al-Qurthuby berkata: “Sebab perbedaan pendapat ini adalah karena zhahir hadits ini bertentangan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَللهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah”. [Ali Imran : 97]
Karena zhahir ayat itu adalah kesanggupan badan, maka wajib bagi setiap orang ynag kuat badannya untuk berhaji, dan wanita yang tidak mendapatkan mahram (yang akan menyertainya untuk berhaji), akan tetapi kuat badannya, maka wajib bagi wanita tersebut untuk berhaji. Ketika penomena ini sering berlawanan, para ulama’ berbeda pendapat dalam menakwilkan hal itu. [Dinukil dari Kasyful Khafa’ ‘an Ahkam safar An-Nisaa’; ta’lif : Muhammad Musa Nashr hal. 8-9]
Itu adalah sebab terjadinya perbedaan pendapat dikalangan ulama’ dalam masalah ini, sebagaimana dikatakan oleh Imam Al-Qurthuby rahimahullah.
DALIL-DALIL ULAMA’ YANG MELARANG WANITA SAFAR TANPA MAHRAM UNTUK BERHAJI
1. Hadits-hadits di awal pembahasan ini yang melarang wanita safar tanpa disertai mahram.
2. Hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu (hadits no. 1 di awal pembahasan).
Ulama’ berkata: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan shahabat untuk meninggalkan jihad dan agar dia pergi berhaji bersama istrinya, yang demikian itu menguatkan masalah mahram (bagi wanita) dalam safar, baik berhaji atau selainnya”.
3. Para Ulama’ berkata: “As-Sabil (mengadakan perjalanan) dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً
“(Bagi) Orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke baitullah”. [Ali Imaran 97]
adalah umum dan mahram termasuk didalamnya.
4. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada Abdurrahman bin Abi Bakar Radhiyallahu ‘anhu untuk menemani Aisyah Radhiyallahu ‘anha berumroh dari Tan’im. [lih. Jaami’ Ahkaamin Nisa’ II/hal. 458-459]
DALIL-DALIL ULAMA’ YANG MEMBOLEHKAN WANITA SAFAR TANPA MAHRAM DAN BANTAHANNYA
1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَللهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah”. [Ali Imran : 97]
Mereka berkata: “Telah datang hadits dari nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa as-sabiil (mengadakan perjalanan) dalam ayat tersebut ditafsirkan dengan Az-Zaad (bekal/makanan) dan kendaraan.
2. Umar Radhiyallahu ‘anhu mengidzinkan istri-istri nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan hajinya yang terakhir serta mengutus Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhuma menemani mereka. Hadits tersebut dikeluarkan oleh Imam Bukhari. [Fathul Baari IV/72]
3. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
لاَ تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللَّهِ مَسَاجِدَ اللَّهِ
“Janganlah kalian melarang hamba-hamba wanita Allah menuju ke masjid-masjid Allah”.
Mereka berkata: “Masjidil Haram termasuk di antara masjid-masjid Allah dalam hadits tersebut”.
4. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Adi bin Hatim Radhiyallahu ‘anhu :
فَإِنْ طَالَتْ بِكَ حَيَاةٌ لَتَرَيَنَّ الظَّعِينَةَ تَرْتَحِلُ مِنَ الْحِيرَةِ حَتَّى تَطُوفَ بِالْكَعْبَةِ لاَ تَخَافُ أَحَدًا إِلاَّ اللَّهَ
“Apabila engkau berumur panjang, maka engkau akan melihat seorang wanita berpindah (safar) dari satu kampung sehingga ia berthawaf di Ka’bah dan dia tidak takut kepada seorangpun kecuali kepada Allah”.
5. Dikiaskan dengan safarnya wanita sendirian dalam rangka hijrah dari negeri kafir dan melarikan diri dari penawanan. Itu adalah safar yang wajib sebagaimana safar untuk menunaikan ibadah haji.
6. Persangkaan bahwa larangan tersebut berlaku hanya untuk bersafar sejauh tiga hari perjalanan atau lebih (hari yang paling banyak dalam hadits-hadits yang melarang). Adapun jika satu hari maka tidak termasuk dalam larangan, karena banyaknya riwayat-riwayat tersebut seolah-oleh riwayat yang paling banyak (yakni tiga hari) menghapuskan hukum riwayat yang sedikit (satu hari).
7. Sebagian ulama’ berpendapat bahwa larangan tersebut khusus untuk gadis, adapun wanita lanjut usia yang tidak menarik lagi maka ia boleh safar tanpa suami atau mahram.
JAWABAN ATAS PERMASALAHAN INI ADALAH SEBAGAI BERIKUT (WABILLAHI TAUFIQ)
1. Penafsiran As-Sabiil dengan Az-zaad (bekal) dan Ar-rahilah (kendaraan), haditsnya dlaif dari seluruh jalan-jalannya, didlaifkan oleh Ahlul ilmi, baik zaman dulu ataupun sekarang. [lih. Sebagian jalannya dalam Tirmidzi dalam Al-Hajj III/168 hadits 813 dan dalam At-Tafsir V/225; Ibnu Maajah 2896, 2807; Hakim dalam Al-Mustadrak I/442; Daru Quthni II/215, 216; Baihaqi IV/327,330; Musnad Asy-Syafi’I hal. 109; dan Al Hilyah V/106; Thabrani III/4, 12; Ibnu Ady dalam Al-Kaamil I/226, 221 dan Al-Uqaily III/332]
2. Tentang idzin Umar terhadap istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berhaji, hal tersebut terjadi setelah kebimbangan Umar Radhiyallahu ‘anhu, dan beliau menjaga ketat terhadap istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dijelaskan dalam berbagai riwayat hadits tersebut. Dan hal itu terjadi setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga Umar tidak mempunyai wewenang merobah apa yang telah ditetapkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, , terlebih lagi apa yang dilarang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Yakni Umar bin Al-Khaththab tidak berhak merobah larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi wanita untuk bersafar tanpa mahram-Red). Kemudian Umar tidak membolehkan hal tersebut selain bagi istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
3. Adapun hadits yang artinya:
“Janganlah kalian melarang hamba-hamba wanita Allah menuju ke masjid-masjid Allah”.
Hadits tersebut shahih, akan tetapi maknanya umum dan dikhususkan untuk masjid-masjid yang tidak bersafar untuk menuju ke masjid tersebut.
4. Tentang sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ady bin Hatim, hadits tersebut diperselisihkan karena dalam satu riwayat hadits tersebut diriwayatkan dari Ady bin Hatim dan dalam riwayat yang lain: dari “seseorang yang tidak dikenal” dari Ady bin Hatim. Seandainya hadits ini shahih, pengambilan dalil dengan hadits ini perlu ditinjau lagi. Karena rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengkhabarkan sesuatu perkara yang akan terjadi menjelang hari kiamat bukanlah berarti beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan perkara tersebut, maka tidaklah ditetapkan perkara tersebut akan kebolehannya atau keharamannya melainkan dengan nash-nash lain dan qarinah-qarinah yang lain. Misalnya sabda nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مِنْ أَشْراطِ السَّاعَةِ كثْرَةُ الْهَرجِ
“Di antara tanda-tanda hari kiamat adalah banyaknya pembunuhan”.
Itu bukanlah berarti pembunuhan dibolehkan.
5. Qiyas ini lemah, karena Allah mewajibkan haji berdasarkan kesanggupan (istitha’ah). Maka wanita yang tidak mendapatkan mahram yang dapat menyertainya, berarti ia tidak sanggup menunaikan ibadah haji, berdasarkan larangan nabi n bagi wanita untuk bersafar tanpa mahram, baik untuk perkara wajib ataupun tidak wajib. Telah diketahui oleh para ulama’ bahwa An-Nahyu (larangan) menunjukkan al-fasad (kerusakan/batal), kecuali ada indikasi yang merubah hal itu, sedangkan dalam hal ini tidak ada indikasi tersebut.
Seorang wanita yang hijrah atau melarikan diri dari penawanan, dia melakukannya dengan terpaksa (harus) karena di dalam pelarian dan hijrahnya tersebut terdapat maslahat yang besar. Dan tinggalnya wanita tersebut di bumi kafir dan penawanan merupakan sebab kerusakan agamanya dan kesesatan wanita tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا جَآءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلاَ تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir”. [Al-Mumtahanah: 10]
Melakukan sesuatu yang lebih sedikit bahaya dan bencananya diperbolehkan dalam keadaan terpakasa (darurat), seperti makan bangkai ketika dikhawatirkan mati kelaparan, sebagaimana dalam kaidah ilmu ushul.
اَلضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ
“Kebutuhan dalam keadaan darurat membolehkan hal-hal yang dilarang”.
Imam Al-Khaththaby berkata [1] “Seandainya sama saja (safar wanita untuk haji dengan safarnya karena hijrah dari bumi kafir) maka pastilah wanita boleh berhaji seorang diri tanpa disertai seorang mahram-pun, atau tanpa disertai seorang wanita tsiqoh. Tetapi karena seorang wanita tidak diperbolehkan pergi haji sendirian kecuali bersama seorang wanita yang tsiqah [2]”. [Ma’alimus Sunan II/145]
6. Sebagian ahlul ilmi berkata: “Sesungguhnya perbedaan lafazh-lafazh ini karena berbedanya orang-orang yang bertanya dan berbedanya tempat. Larangan safar (wanita tanpa mahram) sejauh tiga hari perjalanan bukanlah penjelasan tentang bolehnya safar (wanita tanpa mahram) sejauh sehari semalam perjalanan, dan satu bariid (kurang-lebih 12 mil)”.
Imam An-Naway rahimahullah berkata menukil perkataan Al-Baihaqy: “Seolah-olah beliau ditanya tentang seorang wanita yang safar tanpa disertai mahram sejauh tiga hari tiga malam perjalanan, maka beliau bersabda: “Tidak boleh”. Juga beliau ditanya tentang seorang wanita yang safar tanpa disertai mahram sejauh dua hari dua malam perjalanan, maka beliau bersabda: “Tidak boleh”. Dan beliau ditanya tentang safarnya tanpa disertai mahram sejauh satu hari satu malam perjalanan, maka beliau bersabda: “Tidak boleh”. Demikian juga dengan satu bariid . Kemudian setiap mereka menyampaikan apa yang mereka dengar, Adapun lafazh yang berbeda-beda yang datang dari satu perawi, maka kemungkinan perawi tersebut mendengarnya dari beberapa tempat lalu dia meriwayatkan sesekali yang ini dan lain kali yang itu. Ini semuanya shahih, dan semuanya itu bukan batasan minimal tentang apa yang dinamakan safar, dan (dengan hal itu) beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menghendaki batasan minimal safar.” [Syarhu Muslim IX/103]
Syaikh Muhammad Musa Nashr berkata: “Riwayat-riwayat tersebut menunjukkan batasan-batasan maksimal safar adalah tiga hari (perjalanan), dan batasan minimalnya adalah satu bariid. Satu bariid menurut para ulama’adalah 4 farsakh, satu farsakh adalah tiga mil dan satu mil adalah seribu hasta. Tidak tersembunyi lagi tentang dha’ifnya riwayat satu bariid.” [Kasyful Khafa’ ‘An Ahkaam Safarin Nisa’, hal. 15]
Imam Nawawy berkata menukil ucapan Imam Baihaqi: “Kesimpulannya setiap yang dinamakan safar, maka seorang wanita dilarang mengerjakannya tanpa disertai suami atau mahram, sama saja baik sejauh tiga hari, dua hari, satu hari, satu bariid atau selainnya, berdasarkan riwayat Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu secara mutlak dan merupakan riwayat terakhir dari Imam Muslim:
لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Janganlah seorang wanita safar melainkan disertai oleh mahramnya”.
Ini mencakup seluruh apa yang dinamakan safar”. [Syarhu Muslim IX/102]
7. Pendapat tersebut dinukil oleh Al-Qadli Iyaadl rahimahullah dari Al-Baihaqy (dinukil dari Syarh Muslim IX/104).
Pembedaan ini tidak ada dalilnya, bahkan tertolak. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengecualikan gadis dari wanita yang lanjut usia dalam hadits tersebut.
Karena lafazh إِمْرَأَةٌ (wanita) dalam hadits tersebut umum, mencakup seluruh wanita, baik muda maupun tua, cantik atau jelek. Kemudian, sesungguhnya tabi’at dan syahwat pada diri manusia satu sama lain berbeda-beda, karena tiap-tiap yang buruk itu pasti ada yang mencarinya/menyukainya. Seandainya perkara tersebut seperti apa yang mereka katakan, maka pastilah nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dan mengajarkan kepada istri-istri beliau, dan istri-istri sahabat, serta wanita-wanita kaum muslimin setelah mereka.
وَمَاكَانَ رَبُّكَ نَسِيَّا
“Tidaklah Rabbmu lupa”. [Maryam : 64]
Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Apa yang dikatakan oleh Al-Baaji ini tidak dapat diterima, karena wanita adalah sesuatu yang sangat diinginkan, dan tempat syahwat, walaupun ia sudah tua. Per-bahasa mengatakan:
لِكُلِّ سَا قِطَةٍ لاَقِطَةٍ
Tiap-tiap yang buruk itu pasti ada yang mencarinya/menyukainya.
Di dalam safar akan ditemui orang-orang yang bodoh dan rendah (akhlaqnya), yakni orang-orang yang tidak menghentikan perbuatan keji (walaupun) terhadap wanita lanjut usia atau selainnya karena syahwat yang menguasainya, sedikit diennya, keperwiraannya, penghianatannya, dan semisalnya. Wallahu a’lam”.
Telah diketahui oleh para ulama ushul bahwa: “Tidak boleh mengakhirkan penjelasan pada saat dibutuhkan”, seandainya seperti itu maka pastilah sudah diketahui oleh para salaf kita Radhiyallahu ‘anhum [lih. Kasyful Khafa’ an Ahkaami Safarin Nisa’ oleh Syeikh Muhammad Musa Nashr. Hal. 12-13]
Di antara ulama ada juga yang memperbolehkan wanita safar untuk haji bersama dengan wanita lain yang tsiqoh (terpercaya), tanpa mahram laki-laki. Yang berpendapat demikian adalah Imam Syafi’i rahimahullah, akan tetapi pendapat ini tertolak dan menyelisihi sunnah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Imam Al-Khaththaby berkata: “Seorang wanita merdeka lagi muslimah dan tsiqoh yang disifatkan oleh Imam Syafi’i rahimahullah, bukanlah seorang laki-laki yang termasuk mahram bagi wanita (yang bersafar) tersebut. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang wanita bersafar kecuali dengan laki-laki dari mahramnya. Maka pembolehan beliau (Imam Asy-Syafi’i) bagi wanita safar untuk berhaji dengan tidak adanya syarat (yakni adanya mahram laki-laki-pent) yang telah ditetapkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah menyelisihi sunnah. Apabila keluarnya wanita tersebut tanpa disertai mahram (laki-laki) adalah suatu perbuatan maksiat, maka tidak boleh mewajibkan wanita tersebut untuk berhaji (tanpa maharam), karena hal itu merupakan ketaatan terhadap suatu perintah yang akan mengantarkan pada perbuatan maksiat.” [Ma’alimus Sunan II/144]
Wallahu A’lam Bish-Shawwab.
Semoga Allah Azza wa Jalla memberikan shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti dengan baik sampai hari kiamat.