Badal Umrah, Adakah Dalilnya?
Adakah dalil untuk badal umrah?
Kalau badal haji, ada dalilnya sebagaimana disebutkan dalam riwayat berikut.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- سَمِعَ رَجُلاً يَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ. قَالَ « مَنْ شُبْرُمَةَ ». قَالَ أَخٌ لِى أَوْ قَرِيبٌ لِى. قَالَ « حَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ ». قَالَ لاَ. قَالَ « حُجَّ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمَةَ »
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar seseorang mengucapkan, “Labbaik ‘an Syubrumah (aku memenuhi panggilan-Mu, Ya Allah, atas nama Syubrumah.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Memangnya siapa Syubrumah?”
Ia menjawab, “Syubrumah adalah saudaraku atau kerabatku.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bertanya, “Engkau sudah berhaji untuk dirimu?”
Ia menjawab, “Belum.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas memberi saran, “Berhajilah untuk dirimu dahulu, barulah berhaji atas nama Syubrumah.” (HR. Abu Daud, no. 1811. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if. Syaikh Al-Albani berbeda penilaiannya, beliau menyatakan hadits ini shahih)
Para ulama berkata bahwa hukum badal umrah sama dengan hukum badal haji.
Dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah juz ke-30, hlm. 328-329 dalam pembahasan umrah untuk yang lain disebutkan,
Para fuqaha secara umum membolehkan menunaikan umrah untuk yang lain karena umrah sama halnya dengan haji boleh ada badal di dalamnya. Karena haji dan umrah sama-sama ibadah badan dan harta. Namun ada rincian dari pendapat ulama yang ada.
Ulama Hanafiyah menyatakan bolehnya menunaikan umrah dari yang lain atas perintahnya. Karena menggantikan hanya boleh lewat jalan perintah. Kalau ada perintah, lantas dibadalkanlah umrah tersebut, maka boleh. Karena saat itu berarti melakukan hal yang diperintah.
Ulama Malikiyah menyatakan dimakruhkan mengganti umrah. Namun jika terjadi, tetap dihukumi sah.
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa boleh ada badal atau menggantikan menunaikan umrah dari yang lain jika yang digantikan adalah mayit atau orang yang masih hidup namun tidak lagi memiliki kemampuan untuk menunaikannya sendiri.
Siapa saja yang sudah dibebani melakukan umrah yang wajib dan punya kemampuan saat itu, namun tidak melakukkannya sampai meninggal dunia, maka wajib menunaikan umrah tersebut oleh orang lain dari harta peninggalan si mayit. Orang lain pun yang tidak ada punya hubungan kerabat jika menunaikan umrah tersebut tetap dianggap sah walau tanpa izinnya. Sebagaimana tetap sah jika ada yang melunasi utang walau tanpa izinnya.
Ulama Syafi’iyah juga berpendapat, boleh juga menunaikan umrah yang sunnah jika yang digantikan tidak mampu menunaikan sendiri sebagaimana boleh juga menunaikannya untuk mayit.
Sedangkan ulama Hambali berpendapat bahwa tidak boleh mengumrahkan orang yang masih hidup kecuali dengan izinnya. Memang umrah bisa digantikan namun butuh akan izin dari orang yang digantikan. Adapun mayit boleh diumrahkan meskipun tidak dengan izinnya.
Dari sini disimpulkan, para ulama masih menganggap berdasarkan dalil dari badal haji, bahwa badal umrah tetap ada. Namun ada perincian yang berbeda dari pendapat ulama madzhab.
Kenapa sampai berdalil dengan badal haji untuk perihal badal umrah? Karena kesimpulan suatu hukum bukan hanya dari melihat dalil secara tekstual, namun juga melihat kesamaan jenis ibadahnya atau memperhatikan ‘illah (pertautan) hukum yang sama. Oleh karenanya, dalam sumber hukum Islam ada yang namanya qiyas.
Ketika ulama Syafi’iyah membicarakan qiyas, mereka menyatakan bahwa qiyas ialah,
حمل غير معلوم على معلوم فى إثبات الحكم لهما أو نفيه عنهما بأمر جامع بينهما من حكم أو صفة
“Membawa (hukum) yang belum diketahui kepada (hukum) yang diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduany, disebabkan sesuatu yang menyatukan keduanya, baik hukum maupun sifat.”
Qiyas ini juga jadi dalil rujukan selain dari Al-Qur’an, hadits dan ijma’ (kata sepakat) para ulama.
Semoga bermanfaat.